Categories
Agama & Tuhan budaya social

Mendadak Agamis

Ramadhan memang telah datang seminggu yang lalu. Hmm ya, bulan suci ini memang membawa berkah, rahmat dan hidayah bagi seluruh umat Islam. Ya, tampaknya ketiga hal itu yang sedang dibagi-bagikan Tuhan. Ndak percaya? Ndak usah jauh-jauh berpikir tentang seorang penjahat yang langsung insyaf dan bertaubat ketika Ramadhan, tengok saja grup band Indonesia yang harus kita cintai sepenuh hati demi tidak disebut tidak cinta tanah air itu.

Hidayah

Ya, tiba-tiba saja para musisi-musisi berbakat itu banting stir. Lagu-lagu ciptaan mereka yang sangat tidak agamis, seperti ajakan untuk cium-ciuman, kekasih gelap dan hal-hal yang berbau cinta-cintaan lain, mendadak berubah menjadi lagu-lagu relijius. Yang bercerita tentang mencari Tuhan lah, dan lain sebagainya. Sangat Islami! Oh, Tuhan itu memang Maha Pemberi Hidayah.

Berkah dan Rahmat

Dan tentu saja, mereka akan disebut-sebut sebagai manusia-manusia mulia yang berdakwah demi Tuhan dan agamanya, yang berarti lagu-lagu baru mereka akan segera laris di pasaran. Apa artinya? Tentu saja aliran uang serta penghargaan akan segera mereka dapatkan. Alhamdulillah, Tuhan memang Maha Pemberi Rahmat.

Oh Tuhan, limpahkanlah hidayah dan berkahmu kepada kami di bulan suci ini.

Categories
Agama & Tuhan social

Stop Sumbang Masjid

Seperti halnya diceritakan oleh para ulama-ulama agama, bahwa nanti pada jaman akhir (atau sekarang?) masjid akan berdiri megah di mana-mana, akan tetapi isinya hanya sedikit jamaah yang shalat di sana, atau bahkan kosong melompong. Nah, bagi Anda yang memiliki KTP Islam, tidakkah Anda rasakan gejala itu mulai terjadi saat ini?

Suatu ketika, saya tengah menunaikan shalat Jumat di sebuah masjid yang cukup megah, ketika akan memasuki waktu Dhuhur, salah satu ta’mir masjid mengumumkan beberapa hal, termasuk di antaranya adalah laporan keuangan. Waktu itu yang saya dengar adalah saldo kas yang ada adalah sekitar 15 juta. :O Astaga, saya berpikir dalam hati, masjidnya sudah megah, tapi masih punya saldo kas sebanyak itu? Buat apa? Mau dipermak macam bagaimana lagi masjid itu? Well, saya memang tidak mengerti masalah akutansi, konstruksi dan kawan-kawannya itu, tapi saya mikirnya kok ya sayang uang segitu mengendap di kas lembaga masjid itu.

Mari berpikir positif dulu, mungkin saja, para donatur, yang memberi uang sampai menumpuk seperti itu, sedang memburu surga, atau setidaknya mau menghindar dari siksa kubur yang pedih atas dosa-dosa mereka, makanya mereka bersedia melimpahkan sebagian hartanya ke masjid. Lalu pihak ta’mir juga memiliki inisiatif untuk mempercantik masjid mereka dengan harapan akan semakin banyak jamaah yang datang serta kalau bisa ikut memberi sekeping dua lembar uang (kok mirip dengan traffic-oriented blog yah? 😀 ).

Tapi, kalau uang sumbangannya malah mengendap dan tak terpakai seperti itu, masak amal jariyahnya sudah mulai dihitung? Bukannya kata ulama bahwa balasan amal jariyah itu akan mengalir masuk ke rekening pahala kita ketika harta yang kita amalkan dipakai? Ah, entahlah, saya bukan ahli agama.

Lantas kalau memang mau mempercantik blog masjid, apa itu akan menjamin bahwa jumlah pengunjung jamaah yang hadir di masjid akan semakin banyak? Bukan tidak mungkin, dengan semakin cantiknya masjid, akan tetapi jumlah jamaah yang hadir juga sedikit, maka hari Kiamat, yang tanda-tandanya diceritakan para ulama seperti di awal tadi, akan datang semakin cepat. Kata guru ngaji saya, zaman Rasulullah dulu masjidnya cuma bentuk persegi biasa, ga pake tingkat-tingkat, lantainya tanah dilapisi tikar, serta atapnya cuma pelepah daun kurma. Tapi selalu full setiap waktu shalat tiba. Nah, lho?

Lagipula, jika mau investasi pahala, apa hanya bisa lewat masjid saja? Coba deh, cari lahan yang lain, salah satunya adalah bidang pendidikan. Bahkan menurut saya, menyumbang di bidang pendidikan ini jauh lebih menjanjikan daripada menyumbang di masjid. Kenapa? Karena dari orang yang Anda bantu dalam pendidikannya, bisa menyalurkan ilmunya kepada orang lain, semacam referral begitulah, sehingga nantinya donatur pahala Anda juga akan semakin banyak. Nah, kalau hanya sumbangan di masjid, donatur pahala Anda tergantung dari jumlah jamaah yang menggunakan fasilitas sumbangan Anda di masjid. Semacam Pay To Click, bahasa kerennya. Nah, kalau pengunjung masjidnya habis? Yah, terputuslah amal jariyah Anda, dan Anda akan kembali mendapat siksa kubur yang pedih.

Nah, jika Anda merasa tidak punya ilmu yang pantas untuk disumbangkan (memang ada?), bagaimana? Wah, saya ndak tahu, saya bukan Tuhan yang membuat “Term of Payment” soal transfer pahala itu. Tapi kalau menurut saya sih, dengan menyumbang materi pada bidang pendidikan, Anda juga akan dianggap ikut membantu menyebarkan ilmu itu.

Ah, tapi kan kalau menyumbang masjid, maka sudah jelas yang kita bantu adalah saudara-saudara kita sesama muslim, kalau pendidikan kan bisa saja tujuan kita nyasar ke kaum kafir! 😐

Err.. lantas bagaimana memulainya? Wah, banyak caranya . Kalau Anda mampu, Anda bisa membuka semacam kursus gratis bagi anak yang tidak mampu. Atau kalau Anda mau menyumbang dana, alihkan saja tujuan sumbangan dana Anda yang semula ke masjid itu ke sekolah atau instansi pendidikan terdekat. Atau jika Anda punya buku-buku yang sudah Anda baca, bisa Anda sumbangkan ke gerakan 1000 buku. 🙂

Semoga Tuhan menerima amal Anda. Amen!!

Categories
social

1000 Buku

Err.. hanya ingin memberi sedikit saran, jika sampeyan punya buku-buku yang sudah sampeyan khatam-kan, daripada berdebu di rak, dipinjam teman lantas tak tentu rimbanya (curcol), atau sampeyan loak-kan demi recehan uang lantas hanya menjadi bungkus kacang, mendingan sampeyan sumbangkan saja buat gerakan 1000 buku yang digalang BHI bersama CA itu..

Soal apa itu gerakan 1000 buku, silahkan baca sendiri blognya di sini..

Terima kasih..


Categories
lingkungan my life social

Home Shit Home

Tak terasa sudah sebulan saya kembali pulang ke tanah kelahiran saya. Kembali bergumul dengan hawa dinginnya yang membuat saya kembali jarang mandi, kabut di pagi harinya dan segala kehidupan rural-nya. Ah, ya.. saya seperti kembali ke jaman saya muda kecil dulu. Dimana hidup dimulai dengan gedoran mama tercinta di pintu kamar, kucuran air dingin yang menusuk ke dalam tulang, membuyarkan sisa mimpi yang bergelayut di ujung pelipis mata, dan berangkat ke masjid kala subuh sembari gemetaran menahan dingin. makanya saya jarang mandi.. *ngeyel

Ada setitik rindu pada tanah yang saya tinggalkan di ujung sana. Bagaimanapun, di sanalah saya memulai sebuah episode baru kehidupan saya sebagai pribadi independen yang sudah tidak lagi numpang makan dan tidur di rumah orang yang dulu melahirkan saya. Serta di sanalah saya mulai mengenal dunia blog yang laknat ini.

Tapi ada satu hal yang saya kecewakan dari tempat ini. Kota kecil ini menggeliat dan membengkak, mencoba menjadi tempat yang saya tinggalkan dulu. Ya ya, perkembangan jaman, modernisasi segala sesuatunya itu. Pohon-pohon besar di kedua tepi jalan, yang ujung dahannya saling berkait membentuk terowongan hijau, yang memberi sedikit angin segar dan lindungan dari matahari bagi pemakai jalan kala melintasinya itu, sudah tiada. Diganti batang-batang besi dan beton yang ditanam menghujam tanah dengan biadab dengan nama “kemajuan”. Lapangan rumput dan sawah tempat berbagai makhluk hidup mencari kehidupan, kini sudah ditumbuhi tanaman-tanaman yang bewarna-warni, namun keras dan sama sekali tak sejuk, bernama RUKO!

Ahaha, ya, benar kata seorang teman, kota ini memang sudah selayaknya mendapat gelar baru setelah Makobu (Malang Kota Bunga), yaitu Makoko (Malang Kota Ruko) ;)) Entah apa yang dipikirkan orang-orang di balai kota sana. Tampaknya sih, semakin bingung mengurusi pilkada yang makin dekat. Ya, ya, mereka mungkin sama sekali tidak pernah merasakan kehidupan jelata seperti saya, di mana alam-lah yang menjadi teman bermain masa kecilnya. Mungkin mereka selalu hidup dengan gaya metropolis dan segala ke-perlente-annya, sehingga mereka berusaha menyulap tempat ini seperti kota-kota impian mereka.

Ah, sudahlah, saya ndak punya hak untuk menyalahkan pemerintah. Sebab saya tidak ikut andil dan tidak akan pernah, mungkin memberi kesempatan pada orang-orang itu duduk di pusat pemerintahan. Saya hanya curhat soal kerinduan saya pada sejuknya masa kecil saya dulu. Jangan sampai saya merasa seperti tamu di rumah saya sendiri, di mana saya tidak akan tahu bedanya tempat ini dengan neraka di ujung sana.

Baiklah, saya mau bergumul dengan udara dingin lagi biar ada alasan untuk tidak mandi, sekedar memecah kantuk yang mulai semakin berat ini.

Categories
social

Akademisi Yang Bodoh

Dasar anak muda jaman sekarang…
Pengennya cari perhatian doank…
Sudah tahu mereka budeg…
Malah protes pake jahit mulut…
Lha wong yang treak-treak pake TOA aja dicuekin…
Oalah..

Categories
social

FOSS: The Solution for HaKI Crisis

Hak Cipta atau Hak Atas Kekayaan Intelektual memang tak hanya menjadi milik para pembikin film dan buku saja. Para pembikin piranti lunak komputer sebenarnya juga punya hak atas ciptaan mereka. Bila diperhatikan lebih teliti, jumlah pelanggaran hak cipta pada produk piranti lunak akan jauh lebih banyak daripada ciptaan yang lain. Bentuknya pun beragam, mulai dari pembajakan software yang memiliki lisensi berbayar, sampai dengan penjiplakan source code sebuah program yang kemudian dikomersilkan dengan nama yang lain tanpa penyertaan sumber code yang asli.

Faktor-faktor yang banyak menimbulkan hal tersebut terjadi, biasanya karena software tersebut memiliki keunggulan-keunggulan yang canggih, akan tetapi memasang bandrol yang tinggi untuk dapat menggunakannya, sementara biasanya user yang menggunakannya biasanya berkantong cekak. Akhirnya jalan pintas pun diambil. Dan terjadilah software piracy yang kian marak itu.

Sebenarnya ada satu cara lagi yang sudah ada sebelumnya, dan juga lebih safe. Yaitu penggunaan Free Open Source Software. Tak sedikit pula para pembikin piranti lunak yang memberi label software bikinan mereka sebagai free atau open source alias “milik umum”. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah demi kemajuan produk itu sendiri. Khalayak umum jadi mempunyai hak untuk mengubah source code program dan syukur-syukur memberi tambahan pada produk tersebut. Kalaupun hanya untuk dipakai pun tidak masalah, bukankah tujuan membuat software itu memang untuk dipakai? 😛

Masalahnya adalah, biasanya software semacam ini, bila dibandingkan dengan produk-produk wah yang berbayar, memiliki fitur dan teknologi yang kurang serta tidak terlalu user-friendly. (Ya, maklumlah, namanya juga membuat tanpa bayaran). Sehingga kebanyakan end-user akan lebih memilih software wah tadi, meski lewat jalan yang tidak halal. Tapi sebenarnya bukan pada hal tersebut letak permasalahannya, tetapi pada kemauan untuk belajar. FOSS, juga ikut memberi jalan bagi para developer pemula untuk ikut memberi sumbangsih kepada masyarakat. Daripada mereka menghabiskan waktu membuat program-program cracking, bukankah lebih baik ikut memberi bantuan agar program tersebut lebih friendly dan lengkap?

Categories
social

The Dying Nation

Pemerintahan amburadul ?

Pejabat-pejabat korup ?

Kacaunya kehidupan sosial ?

Harga hidup yang semakin tinggi ?

Ketidakmerataan kesejahteraan sosial pada seluruh rakyat Indonesia ?

Para agamawan yang sibuk adu aliran ?

Hukum yang semakin tak terjangkau ?

Aktivis-aktivis yang semakin gemar rusuh ?

Politikus yang sibuk berebut tahta ?

Lingkungan yang semakin tak mendidik ?

Pendidikan yang semakin kacau ?

Dan seorang bloger yang kerjanya protes saja ?

Maaf, bagi saya negeri ini sudah mati. Teronggok di puing-puing “NKRI Harga Mati“.
Ya, saya sudah terlalu skeptis pada negeri ini. Negeri gemah ripah loh Jiancuk!!

Categories
social

Aparat Yang Maha Kuasa

Aparat

“Ah, saya kan ndak berhenti di situ, cuma…. parkir”

Categories
social

Demi Kebaikan yang Lebih Besar(?)

Sabtu malam kemaren, sekitar jam 8, di saya tengah berada di dalam angkot menuju bascamp angkatan saya. Kala itu angkotnya tengah ada di jalan Dewi Sartika di daerah Cawang. Angkot berjalan pelan-pelan. Maklum, daerah di sini rawan macet, apalagi pas malem minggu seperti ini. Saya masih saja enjoy mendengarkan MP3 di henpon saya. Tapi angkot justru berjalan semakin lambat, dan puncaknya tiba-tiba ia berhenti, begitu juga kendaraan-kendaraan lain. Semua berhenti. Klakson-klakson membahana di mana-mana. Ah, sial, batin saya, ada apa sih ini? Sopir angkot saya lantas keluar mobil untuk melihat keadaan. Saya melihat keluar, wow, bahkan ruas jalan yang berlawanan arah pun sudah dipenuhi kendaraan-kendaraan yang searah dengan angkot saya. Benar-benar parah. Di luar saya juga melihat beberapa pemuda yang menegnakan kopyah, sarun serta jaket yang bertuliskan nama salah satu majelis pengajian. Saya juga baru sadar kalau di samping jalan banyak sekali bendera dan umbul-umbul organisasi tersebut.

Saat sopir kembali masuk, kami mulai merayap sedikit-sedikit. “Jalannya ditutup”, kata si sopir. “Ada pengajian”. Saya kaget. Dan benar saja, setelah agak lama angkot itu merayap, saya mendengar sayup-sayup suara shalawat di kejauhan. Dan juga saya melihat semakin banyak pemuda-pemuda seperti yang saya lihat tadi.

Akhirnya angkot pun berbelok ke jalan alternatif, yang juga macet.

Minggu pagi, saya dan teman saya si arthur van testbug berangkat menuju ke Roxy untuk benerin henpon saya. Kami naik bus kota Metro Mini yang legendaris itu. Memasuki kawasan Bendungan Hilir, lagi-lagi laju kendaraan kembali menurun. Nyaris merayap. Ya, karena jalur cepat di sepanjang Jalan Sudirman, yang biasanya dipakai mobil-mobil pribadi itu, sekarang ditutup. Jadinya sekarang jalur lambatnya jadi benar-benar lambat, karena penuh dengan kendaraan.

Kenapa pula jalur cepatnya ditutup? Untuk menyelamatkan lingkungan katanya, semacam hari tanpa kendaraan bermotor gitulah, biar polusi berkurang

Categories
social

Musuh

Musuh. Ya, musuh adalah antonim dari teman. Sinonim dari lawan yang juga kebalikan dari kawan. Seseorang yang Anda tidak sukai, atau merupakan tandingan yang harus Anda kalahkan dalam sebuah pertandingan atau pertarungan. Mana menurut Anda yang paling enak? Punya teman atau punya musuh? Banyak teman, of course. Tapi apakah punya musuh itu tidak penting dan tidak mengenakkan? Saya rasa kok tidak. Sadar atau tidak, kita, menurut saya, sangat membutuhkan musuh. Sebab tanpa ada musuh, kita akan menjadi kurang menghargai teman kita, dan malah bisa jadi akan memposisikan mereka menjadi musuh yang baru. Sementara jika kita memiliki musuh, bukannya tidak mungkin, musuh-musuh yang kita hadapi di “pertarungan” yang lain akan berbalik menjadi teman kita.

Contohnya saja, masih ingatkah Anda soal pencaplokan budaya negeri ini oleh negara tetangga? Kala itu, beberapa warga negara ini langsung mengecap negara tersebut sebagai musuh. Dan melakukan perlawanan sengit dengan cara mencaci maki serta menyumpahi negara tersebut. Pada saat “perang” itu, beberapa warga negara ini yang lain langsung ikut turun membantu. Dan jadilah, mereka yang sebelumnya tidak pernah kenal, menjadi sekutu yang solid dalam melakukan pencacimakian terhadap “musuh”. Bahkan warga negara ini yang sebelumnya pernah berseteru, langsung bahu membahu memisuhi sang musuh. Sungguh sebuah pertemanan yang erat.