Categories
Agama & Tuhan book

Dan Brown: The Lost Symbol

Akhirnya, setelah sekian lama penantian, saya berhasil mendapatkan buku ini. Sekitar sebulan yang lalu, buku ini datang sebagai kado ulang tahun dari Nyonya saya. Makasih, sayang :*

The Lost Symbol
The Lost Symbol

Setelah dengan sukses dengan 4 novel-nya, Dan Brown kembali membuat decak kagum dengan novel kelimanya ini, The Lost Symbol, yang bercerita tentang ahli simbol Robert Langdon, menelusuri jejak misterius kaum Freemason di jantung Amerika, Washington D. C. Buku ini bisa dibilang adalah hasil tumbukan novel-novel Dan Brown sebelum-sebelumnya. Digital Fortress dan Deception Point, novel pertama dan ketiga, bercerita seputar lembaga-lembaga negara Amerika yang misterius dan intrik-intriknya, sementara dua novel lainnya, Angels and Demons dan Da Vinci Code bercerita tentang Robert Langdon yang berusaha menemukan jawaban di balik simbol-simbol kuno yang sangat rahasia. Dan keduanya bertemu di Lost Symbol: Amerika vs Robert Langdon.

Robert Langdon diceritakan harus menolong temannya, Peter Solomon, grand master kelompok Freemason yang diculik seorang penjahat misterius. Si penculik menginginkan Langdon menemukan Kata yang Hilang yang disembunyikan di balik piramida suci Freemason. Konon Kata yang Hilang itu bisa membuka kekuatan rahasia yang tersembunyi dalam tubuh setiap manusia. Membuatnya memiliki kekuatan yang mendekati kekuatan Tuhan. Berhasilkah Robert Langdon menemukannya? Baca saja sendiri.

Seperti biasa, selain bercerita tentang simbol-simbol kuno, Dan Brown juga menyisipkan tentang teknologi-teknologi mutakhir yang masih jaran diketahui umat manusia. Setelah mesin pemecah TRNSLTR dan antimatter, kini dia bercerita tentang ilmu Noetic, ilmu yang mempelajari bagaimana benak manusia dapat memberikan pengaruh nyata terhadap benda-benda fisik di sekitarnya. Menurut pengamatan saya, ilmu inilah yang dapat membuat manusia menjadi seperti Tuhan, seperti yang tertulis dalam Kata yang Hilang yang disembunyikan kaum Freemason.

Namun sayang, dibandingkan novel-novel sebelumnya, novel ini terasa lebih filosofis dan kurang begitu terasa suspense-nya. Tampaknya Dan Brown ingin menguatkan kembali pesan yang disampaikannya di novel sebelumnya, bahwa agama dan teknologi sebenarnya adalah hal yang dapat berjalan secara bersama-sama.

Dalam novel ini Dan Brown menjelaskan bahwa agama yang cenderung mistis sebenarnya adalah teknologi yang belum dapat dijelaskan oleh akal manusia. Dan ilmu Noetic, adalah mata rantai yang hilang di antara keduanya. Ia menjelaskan bagaimana keajaiban dan mukjizat yang diceritakan dalam kitab suci agama-agama sebenarnya dapat dijelaskan dengan teknologi modern. Tapi sayangnya, entah kenapa Dan Brown tidak bercerita lebih jauh mengenai ilmu ini.

Super villain-nya juga mudah sekali ditebak. Tidak perlu sampai akhir cerita, saya bisa mengerti siapa sebenarnya dalang segala kejadian misterius. Mungkin Anda yang sudah khatam novel-novel Dan Brown pun tidak akan terlalu kesulitan menebak.

Tapi tetap saja, Dan Brown gitu loh, tetap saja saya merasa puas setelah menutup halaman terakhir, karena saya baru saja tercerahkan dengan filosofi-filosofi Dan Brown serta pengetahuan dan sejarah yang mencengangkan. Ya, saya baru sadar kalau para pendiri Amerika ternyata adalah orang-orang yang menganggap simbol-simbol bangsa kuno. Dan mereka berusaha memunculkan kembali simbol-simbol tersebut di Tanah Baru, di mana mereka jauh dari pengaruh monarki Eropa yang mengekang. Saya baru tahu bahwa:

1. Washington D.C sebenarnya diberi nama Rome oleh para founding fathers-nya Amerika

2. Obelisk terbesar di dunia ada di Washington, bukannya di Mesir

3. Gedung Capitol, gedung DPR-nya Amerika, adalah replika dari kuil Yunani yang dipadukan dengan Basilika St. Petrus di Vatikan.

4. Sama seperti Kapel Sistine di Vatikan, langit-langit bagian kubah (Rotunda) Capitol juga dilukis oleh seorang seniman. Bila Michaelangelo menggambar The Creation of Adam, maka di Capitol terdapat The Apotheosis of Washington karya Constantino Brumidi yang menceritakan George Washington yang naik level ke tingkat “Godlike”

5. Jiwa manusia memiliki massa dan dapat ditimbang dengan cara yang sangat sederhana.

6. Sandi kotak di pramuka ternyata adalah sandi milik Freemason.

Dan masih banyak misteri lain. Silakan baca sendiri kalau mau tahu. 😀

Oh ya, satu hal unik yang saya temukan adalah, Dan Brown memang menyebut sedikit plot cerita Angels and Demons serta Da Vinci Code sebagai masa lalu Langdon, tapi ia secara implisit novel pertamanya, Digital Fortress sebagai “novel thriller murahan”. :)) Pengarang yang aneh.

Categories
Hobbies

Versi Buku vs Versi Film

Sudah tahu film terbaru Harry Potter? Saya sendiri, sebagai salah satu penggemar cerita (bukan tokohnya, apalagi pemeran dalam film!!) Harry Potter, kurang antusias dengan film terbaru itu. Satu-satunya alasan yang membuat saya pergi nonton nantinya adalah karena saya kangen dunia sihir bikinan JK Rowling yang sudah cukup lama berakhir ceritanya itu.

Kenapa saya kurang menyukai film yang diangkat dari novel adalah karena beberapa hal, yaitu

1. Pemaksaan Citra

Ketika Anda membaca novel / buku, pengarang memberi kebebasan kepada Anda untuk membayangkan seperti apa sebenarnya cerita yang terjadi. Seperti apa rupa tokoh-tokohnya, seperti apa suasana yang tercipta lewat deskripsi serta penggambaran yang menjadi petunjuk bagi pembaca untuk melakukan hal itu. Bisa jadi antara satu pembaca dengan yang lain berbeda dalam hal penggambaran itu.

Sementara dalam versi film, hanya ada satu cara untuk menggambarkan cerita, tokoh & latar, yaitu sesuai dengan pemeran serta lokasi diambilnya gambar. Tidak ada yang lain. Suka atau tidak, itulah ceritanya. Anda hanya bisa pasrah pada sutradara tentang bagaimana cerita akan berjalan.

Jujur saja, saya kurang begitu suka tokoh Harry Potter yang terlalu “tampan”, serta Dumbledore yang terlalu tua dalam film-film Harry Potter. Tokoh Severus Snape juga tak terlalu jahat, meski memang terkesan dingin dan licik.

2. Penambahan & Pengurangan Cerita

FIlm, memang tidak sebebas buku. Cerita dalam film tidak boleh terlalu panjang dan bertele-tele. Tidak seperti di buku yang bisa sampai ke mana-mana. Film dengan durasi yang terlalu panjang kebanyakan tidak disukai penonton. Akhirnya untuk penyesuaian, dilakukanlah pemotongan cerita serta penambahan bagian-bagian tertentu agar cerita masih tetap nyambung. Hanya detil-detilnya saja yang diambil.

Tapi bagi saya, hal itu cukup mengganggu. Bagaimana alur yang sudah terpatri di kepala setelah membaca novel, tiba-tiba harus diubah menjadi alur cerita baru dalam versi film. Hal ini tampaknya sudah jamak terjadi pada film-film yang diangkat dari novel. Sepanjang pengetahuan saya, satu-satunya film yang nyaris sesuai dengan buku adalah Lord of The Rings garapan Peter Jackson. Hampir semua cerita yang ada di buku ada di film. Hanya saja di film pertama ada satu cerita yang hilang, yaitu ketika Frodo dan kawan-kawan bertemu Tom Bombadil, sebelum mencapai Bree.

Tapi bila Harry Potter disebut parah dalam kasus ini, maka ada satu film yang bisa disebut hancur. Yaitu Eragon, yang ditulis oleh Christopher Paolini. Jalan ceritanya serta settingnya semua benar-benar berbeda. Adegan-adegan penuh efek, yang tidak ada dalam buku, ditambahkan secara “brutal”. Mungkin dengan maksud agar film semakin menarik. Tapi bagi pembaca bukunya, setidaknya saya, hal itu adalah dosa besar, karena akan mempengaruhi cerita secara keseluruhan.

Karena itulah, saya pikir kenapa sekuelnya, Eldest, tak kunjung dibuat. Mungkin karena sutradaranya harus berpikir bagaimana “menambal” cerita yang seharusnya ada di film pertama.

3. Penonton Bukanlah Pembaca

Mungkin ini alasan saya pribadi yang sedikit dibuat-buat. Yaitu karena menjadi pembaca itu lebih menyenangkan daripada menjadi penonton. Ketika menjadi penonton, kitalah yang menjadi pihak yang aktif. Kita yang memutuskan kapan cerita akan berlanjut atau berhenti, bahkan mungkin mundur. Berkaitan dengan alasan pertama, pembaca jugalah yang berhak menentukan seperti apa cerita berjalan. Tidak seperti penonton yang hanya bisa “terima jadi”.

Well, itulah beberapa alasan saya lebih menyukai versi buku daripada versi film. Anda mungkin berpendapat bahwa film itu memang tidak harus sama dengan buku karena beberapa alasan seperti “perbedaan cara pandang antara penulis dan sutradara” dan lain-lain. Tapi bagi saya pribadi, film itu adalah visualisasi dari buku, jadi tidak boleh ada perbedaan sedikit pun, karena hal itu akan membentuk sebuah cerita baru, yang membuat film tak lagi menjadi visualisasi dari buku, tapi adalah sebuah media cerita yang baru.

🙂