Sudah tahu film terbaru Harry Potter? Saya sendiri, sebagai salah satu penggemar cerita (bukan tokohnya, apalagi pemeran dalam film!!) Harry Potter, kurang antusias dengan film terbaru itu. Satu-satunya alasan yang membuat saya pergi nonton nantinya adalah karena saya kangen dunia sihir bikinan JK Rowling yang sudah cukup lama berakhir ceritanya itu.
Kenapa saya kurang menyukai film yang diangkat dari novel adalah karena beberapa hal, yaitu
1. Pemaksaan Citra
Ketika Anda membaca novel / buku, pengarang memberi kebebasan kepada Anda untuk membayangkan seperti apa sebenarnya cerita yang terjadi. Seperti apa rupa tokoh-tokohnya, seperti apa suasana yang tercipta lewat deskripsi serta penggambaran yang menjadi petunjuk bagi pembaca untuk melakukan hal itu. Bisa jadi antara satu pembaca dengan yang lain berbeda dalam hal penggambaran itu.
Sementara dalam versi film, hanya ada satu cara untuk menggambarkan cerita, tokoh & latar, yaitu sesuai dengan pemeran serta lokasi diambilnya gambar. Tidak ada yang lain. Suka atau tidak, itulah ceritanya. Anda hanya bisa pasrah pada sutradara tentang bagaimana cerita akan berjalan.
Jujur saja, saya kurang begitu suka tokoh Harry Potter yang terlalu “tampan”, serta Dumbledore yang terlalu tua dalam film-film Harry Potter. Tokoh Severus Snape juga tak terlalu jahat, meski memang terkesan dingin dan licik.
2. Penambahan & Pengurangan Cerita
FIlm, memang tidak sebebas buku. Cerita dalam film tidak boleh terlalu panjang dan bertele-tele. Tidak seperti di buku yang bisa sampai ke mana-mana. Film dengan durasi yang terlalu panjang kebanyakan tidak disukai penonton. Akhirnya untuk penyesuaian, dilakukanlah pemotongan cerita serta penambahan bagian-bagian tertentu agar cerita masih tetap nyambung. Hanya detil-detilnya saja yang diambil.
Tapi bagi saya, hal itu cukup mengganggu. Bagaimana alur yang sudah terpatri di kepala setelah membaca novel, tiba-tiba harus diubah menjadi alur cerita baru dalam versi film. Hal ini tampaknya sudah jamak terjadi pada film-film yang diangkat dari novel. Sepanjang pengetahuan saya, satu-satunya film yang nyaris sesuai dengan buku adalah Lord of The Rings garapan Peter Jackson. Hampir semua cerita yang ada di buku ada di film. Hanya saja di film pertama ada satu cerita yang hilang, yaitu ketika Frodo dan kawan-kawan bertemu Tom Bombadil, sebelum mencapai Bree.
Tapi bila Harry Potter disebut parah dalam kasus ini, maka ada satu film yang bisa disebut hancur. Yaitu Eragon, yang ditulis oleh Christopher Paolini. Jalan ceritanya serta settingnya semua benar-benar berbeda. Adegan-adegan penuh efek, yang tidak ada dalam buku, ditambahkan secara “brutal”. Mungkin dengan maksud agar film semakin menarik. Tapi bagi pembaca bukunya, setidaknya saya, hal itu adalah dosa besar, karena akan mempengaruhi cerita secara keseluruhan.
Karena itulah, saya pikir kenapa sekuelnya, Eldest, tak kunjung dibuat. Mungkin karena sutradaranya harus berpikir bagaimana “menambal” cerita yang seharusnya ada di film pertama.
3. Penonton Bukanlah Pembaca
Mungkin ini alasan saya pribadi yang sedikit dibuat-buat. Yaitu karena menjadi pembaca itu lebih menyenangkan daripada menjadi penonton. Ketika menjadi penonton, kitalah yang menjadi pihak yang aktif. Kita yang memutuskan kapan cerita akan berlanjut atau berhenti, bahkan mungkin mundur. Berkaitan dengan alasan pertama, pembaca jugalah yang berhak menentukan seperti apa cerita berjalan. Tidak seperti penonton yang hanya bisa “terima jadi”.
—
Well, itulah beberapa alasan saya lebih menyukai versi buku daripada versi film. Anda mungkin berpendapat bahwa film itu memang tidak harus sama dengan buku karena beberapa alasan seperti “perbedaan cara pandang antara penulis dan sutradara” dan lain-lain. Tapi bagi saya pribadi, film itu adalah visualisasi dari buku, jadi tidak boleh ada perbedaan sedikit pun, karena hal itu akan membentuk sebuah cerita baru, yang membuat film tak lagi menjadi visualisasi dari buku, tapi adalah sebuah media cerita yang baru.
🙂
12 replies on “Versi Buku vs Versi Film”
setuju…. kadang-kadang buku yang difilmkan hasilnya mengecewakan
LikeLike
hoo….mo nonton harpot??? kan gak romantis 😦
LikeLike
haiah, gak jadi pertamax 😦
LikeLike
saya suka dua-duanya. soalnya kalau film bisa dipandangin sampe bosen wakakakakaakk… 😆
LikeLike
klo q si suka2 aja ma dua2nya…
tp lbh sk bc bkunya, so bs berimajinasi ndiri de….
hehehehe
LikeLike
Bagaimana dengan Lord of the Ring bro? saya pribadi puas dengan pilem itu… Atau Green Mile? Yang dari novel juga..
LikeLike
@mansup: Err, ya, sepertinya hanya LoTR yang mendekati kesempurnaan, Green Mile? Saya belum pernah baca?
LikeLike
[…] buku ini akan menjadi pelipur lara setelah kecewa sekecewa-kecewanya dengan film Eragon, yang diangkat dari buku pertama. Benar-benar… hancur! 👿 Mungkin, menurut pemikiran saya, si pengarang sengaja […]
LikeLike
[…] buku ini akan menjadi pelipur lara setelah kecewa sekecewa-kecewanya dengan film Eragon, yang diangkat dari buku pertama. Benar-benar… hancur! 👿 Mungkin, menurut pemikiran saya, si pengarang sengaja […]
LikeLike
[…] film Harry Potter and the Deathly Hallows itu. Saya dipaksa menjilat ludah saya sendiri, bahwa film adaptasi harus sesuai dan sama persis dengan bukunya. Sekali lagi David Yates membuktikan bahwa dengan tidak mengambil seluruh adegan aslinya, dia […]
LikeLike
[…] film Harry Potter and the Deathly Hallows itu. Saya dipaksa menjilat ludah saya sendiri, bahwa film adaptasi harus sesuai dan sama persis dengan bukunya. Sekali lagi David Yates membuktikan bahwa dengan tidak mengambil seluruh adegan aslinya, dia […]
LikeLike
wah pak nazieb penyuka novel juga yah…saya sedang menunggu bgt niy bakal di film-in ga yah novel TUNNELS…..keren bgt tuh……..sudah baca pak//
LikeLike