Categories
my life

Pekerjaan: Freelance

Terhitung sejak tanggal 1 Februari kemarin, saya resmi menjadi seorang yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Perusahaan tempat saya bekerja, sebuah perusahaan koran yang petingginya dipenjara (?) karena terlibat dalam kasus pembunuhan, secara sepihak memutus hubungan kerja saya dan rekan-rekan satu divisi. Tanpa pemberitahuan sebelumnya. Mereka (para direksi) beralasan bahwa perusahaan akan melakukan audit aset-asetnya, jadi kami diminta (atau dipaksa?) untuk berhenti bekerja selama proses audit berjalan. Kata mereka, kami akan dipanggil lagi dalam waktu 2 minggu. Tapi, dalam sebuah surat yang kami terima, yang berisi tentang keputusan untuk “meniadakan hubungan antara karyawan dan perusahaan” yang harus kami tanda tangani, sama sekali tidak ada kata-kata akan dipanggil kembali. Kami pun mengerti bahwa itu adalah surat pemecatan secara sepihak. Kata-kata mereka tentang pemanggilan itu hanya abang-abang lambe, pemanis mulut, supaya kami mau-mau saja diputus hubungan kerjanya.

Tentu ini tidak adil, tapi yah, sudahlah, mau bagaimana lagi. Berurusan dengan orang berduit memang bukan hal yang mudah. Bisa-bisa saya mendahului Pak Nasrudin kembali ke pangkuan Malaikat Izrail. Ikhlaskan saja, easy come, easy go. Sejak saat itu, kehidupan saya dan beberapa rekan berubah. Yang tadinya bisa berfoya-foya terpaksa harus meniadakan beberapa kebiasaan yang cukup menghabiskan banyak dana. Tapi selain kondisi ekonomi, yang paling terasa perubahannya adalah status sosial. Ibu kost sudah cukup curiga melihat tingkah saya dan beberapa rekan yang terus-terusan ada di rumah. Mungkin kuatir kami akan ngutang duit kos bulan depan. Pada saat saya pulang kampung untuk ikut Pemilu Legislatif kemarin, banyak teman, tetangga dan saudara yang sudah lama tidak berjumpa, bertanya kepada saya: di Jakarta kerja di mana? Walhasil, saya pun kebingungan. Bagaimana tidak, bila saya jujur, bisa hancur image anak kebanggaan orang tua saya, yang pergi mencari kerja di ibukota dalam usia yang masih cukup belia seperti saya. Tentu, ini aib yang harus ditutup rapat. Saya pun menjawab: Freelance. Bukan sebuah kebohongan, karena memang saya sedang memiliki beberapa proyek freelance kala itu.

Tentu saja, mereka yang orang kampung itu pasti tidak mengerti apa itu Freelance. Mereka taunya pekerjaan itu ya jualan di pasar, jadi buruh pabrik, atau jadi sopir angkot. Saya pun menjelaskan kalau Freelance itu adalah pekerjaan lepas. Jadi kita bekerja tanpa harus ngantor. Bisa dikerjakan di rumah, atau di tempat lain. Tentu, mereka akan berpikir bahwa freelance itu pekerjaan yang menyenangkan, bisa di rumah terus tapi duit tetap terisi. Tapi mereka tidak tahu yang sebenarnya. Proyek freelance saya kala itu adalah membikin & mendesign suatu website. Tentu saja saya butuh komputer dan koneksi internet. Tapi yah, dasar saya yang suka berfoya-foya, saya belum sempat membeli laptop pribadi saat dulu masih bergaji. Jadi terpaksa saya dan seorang teman saya harus bolak-balik ke warnet untuk mengerjakan proyek tersebut. Dan demi alasan penghematan, kami terpaksa menjadi kalong alias Batman, begadang di warnet tiap malam, karena pada waktu malam, harga sewa-nya lebih murah dan koneksi lebih lancar.

Itu salah satu pengalaman yang cukup berkesan dalam hidup saya. Bagaimana saya melihat kehidupan malam kota Jakarta yang biasanya hanya saya lihat atau baca di media. Kebetulan, warnet yang sering saya kunjungi berada di daerah Kemang, pusat nightlife Jakarta, kata seorang teman. Dan seperti yang sudah Anda ketahui, banyak klab-klab malam dan pusat hiburan lain di sana. Jadi ketika saya berangkat, saya banyak menjumpai para pengunjung tempat-tempat tersebut baru saja turun dari mobil. Tentu saja yang paling mencolok adalah wanita-wanita berpakaian minim yang hampir mempertontonkan seluruh tubuhnya, turun dari mobil mewah bermerk macam Mercedes atau BMW. Wow! Lalu ketika saya pulang selepas adzan subuh, saya juga melihat bagaimana mereka pulang, untuk sholat Subuh mungkin. Ah, kenapa jadi membicarakan masalah itu?

Sangat tidak mudah menyandang status sebagai freelancer ini. Bagaimana melihat ekspresi orang lain saat mereka mengucapkan “Ooo..” setelah saya menjelaskan pekerjaan saya itu. Seolah mereka tahu yang sebenarnya. Seolah dalam hati mereka bicara “Oalah, nganggur aja kok dibilang freelance”. Tapi ya mau bagaimana lagi, pekerjaan tetap yang saya impi-impikan tak kunjung datang.

Tapi hal itu sudah tidak terjadi lagi. Berawal dari postingan tentang lowongan pekerjaan dari seorang rekan di milis, saya dengan tingkat keputus-asaan yang sudah cukup tinggi, mengirim lamaran ke perusahaan yang dimaksud. Dan gayung pun bersambut, tak cukup lama saya dipanggil untuk datang ke kantor perusahaan tersebut di daerah Senayan. Setelah di-interview dan dites beberapa saat, saya pun resmi diterima di sana. Yay! Dan hari ini 1 Juni 2009, tepat 4 bulan sejak saya menjadi freelancer alias pengangguran adalah hari resmi pertama saya kerja.

Thanks God, alhamdulillah, hallelujah! Dan terima kasih juga kepada semua orang yang sudah men-support saya (especially you) dan yang sudah saya repotkan selama masa tidak produktif saya. 😉

45 replies on “Pekerjaan: Freelance”

jangan khawatir bro. Dibalik semua kesusahan pasti ada jalan. Where there is a will, there is a way.

Semoga sukses bro. Aku sangat suka sekali dengan theme buatanmu. Moga bsa jadi teman akrab.

Tukeran link yuk.

Like

hemz, coba deh tengok kalo ke BSM (Bandung Super Mall, di depan Mallnya ada rumah tak tarweat sekarang, dulu pas pembangunannya si empunya rumah ga mau menjual rumahnya padahal ditawar dengan harga tinggi. sekarang BSM dah berdiri bertahun-tahun ternyata rumah itu ga mengganggu BSM. sekarang rumah itupun masih ada walau terlihat kumuh tapi tak mengganggu penampilan BSM itu sendiri :]

Like

Leave a comment