Categories
budaya

The Sleeper

Ya, aku masih duduk di situ, di bangku yang sama semenjak aku mulai mendudukinya beberapa puluh tahun yang lalu. Hanya saja sekarang agak berbeda. Yang ada di meja di depanku bukan lagi setumpuk kertas lusuh dan kusam. Yang berisi nama-nama yang ditulis dengan tinta semerah darah, yang mungkin saja itu memang darah. Yang akan selalu bertambah tiap hari seiring dengan gejolak negeri ini, dan juga semakin banyaknya mayat-mayat membusuk di jalanan kota ini. Kali ini yang ada di depanku adalah sebentuk mungil laptop. Hitam legam. Seperti darah hewan najis yang setiap hari kusantap sebagai menu makan siangku. Tapi tetap saja, laptop itu pun menampilkan huruf-huruf merah, meski bukan darah. Dan juga segelas kopi panas yang ada di samping laptop itu. Mendidih. Baru saja dituang dengan air kencing para pengemis yang tulangnya dipakai sebagai kayu bakar untuk merebusnya. Ya, aku suka kopi itu. Ia tidak membuatku terjaga. Justru ia membuatku sangat mengantuk. Hingga tak sadar aku akan terlelap sejenak di atas sandaran kursi itu. Ya, ya, sama saja seperti yang kulakukan beberapa puluh tahun yang lalu.

Aku sangat menikmati tidurku itu. Memberhentikan lendir di dalam kepalaku agar tidak terus menerus berpikir, meladeni pria-pria buncit dan botak yang mericuhiku setiap hari, menodai kursi di seberang meja dengan pantat besar mereka yang berbau tai. Mereka terus saja bertanya. Dan tak pernah sekalipun aku menjawab. Hanya jariku yang kemudian mengetik di keyboard laptop mungilku. Dan satu namapun bertambah di sana. Merah. Aku sama sekali tak mau diganggu saat tidur. Meski oleh Tuhan sekalipun. Hanya aku yang boleh menentukan kapan aku harus bangun, dan kapan aku akan tidur lagi. Kalaupun ada yang berani mengusik istirahatku, yakinlah bahwa kepala mereka akan terhidang di mejaku dengan hiasan buah apel yang disumpalkan ke mulut mereka. Ah, aku ingat, baru saja kemarin aku makan seperti itu. Dengan kepala seorang lelaki tua yang berani membangunkanku hanya untuk bertanya kapan dia akan mati. Dan, ya, seperti biasa, aku tak pernah menjawab. Tapi sedetik kemudian dia mengetahui sendiri kapan ajalnya tiba. Ah, aku suka sekali rasa kepala itu. Apalagi bola matanya yang empuk, diolesi dengan saus darahnya. Hummm, sungguh mengasyikkan.

Siapa aku? Siapa? Ya, kalian mungkin tak akan tahu siapa aku. Tapi aku tahu setiap dari kalian, karena mungkin nama ayahmu atau kakek nenekmu ada di dalam laptop hitamku, yang kuketik dengan warna semerah darah. Bah! Buat apa kalian tahu aku? Nikmati sajalah hidup nista kalian itu, sebelum namamu kutambahkan ke dalam laptopku. Karena akulah kalian masih bisa merasa beruntung karena dilahirkan. Andai saja tidak, kau akan langsung masuk ke dalam penggorengan panas segera setelah kau meluncur keluar dari rahim ibumu. Ya, dan tubuhmu yang matang akan ditusuk dengan tongkat besi menyala, yang akan mereka gunakan untuk berburu babi. Apa pedulimu tentang aku? Urusi saja penismu yang selalu saja mengemis minta vagina basah untuk kau senggamai.

Hahahaha, kalian tak jauh beda dengan lelaki-lelaki buncit itu. Yang selalu memakai baju bersulam emas dengan kancing batu permata. Mereka tidak punya penis. Karena mereka tidak membutuhkannya. Mereka menjualnya kepada janda yang suaminya mati dalam perang, untuk digunakan saat birahi mereka menggelora. Ya, mereka tidak butuh penis. Mereka hanya butuh uang. Koin-koin itu jauh lebih nikmat bagi mereka, daripada semprotan sperma mereka saat ejakulasi di dalam vagina perawan.

Tapi mereka tak pernah puas. Mereka selalu saja merasa miskin. Dan yang tak kusukai, mereka selalu datang padaku, menjilati jempol kakiku hanya untuk meminta pada diriku supaya mereka tambah kaya. Bah! Bodoh sekali mereka. Sudah kubilang berkali-kali, jika kau mau kaya, jangan minta padaku, minta saja pada Tuhanmu Yang Maha Kaya itu. Jilati saja jempol kaki-Nya sampai lidahmu kering. Tapi mereka tak mau mendengar. Mereka takut, katanya. Takut pada Tuhan Berwajah Galak yang akan melempari mereka dengan batu panas neraka saat mereka berhenti menjilat sebelum Dia merasa puas. Ah, sial. Andai saja aku punya neraka sendiri, pasti mereka juga akan kulempar ke sana. Dan biasanya lelaki-lelaki dungu itu menyelipkan segepok amplop saat menyalamiku sebelum mereka pulang.

Hahahahahaha. Dasar goblok! Uang siapa itu, mereka pikir, hah?! Darimana mereka dapat uang sebanyak itu, kalau mereka ingat? Tapi mereka tak pernah ingat. Ya, karena otak mereka juga sudah mereka jual, kepada tukang daging di pasar kotor yang selalu mebawa pisau besar itu. Asal kalian tahu, itu memang uangku! Ya, itu uangku, yang kutebarkan kepada mulut-mulut yang dulu menganga kehausan. Itu uangku! Yang kuhamburkan agar lelaki-lelaki yang dulunya kurus kering itu bisa kembali tegap memimpin negeri ini. Itu uangku, dan memang sudah seharusnya kembali padaku. Dasar bodoh, jangan kira aku akan merasa berhutang kepada kalian! Kalianlah yang masih berhutang banyak padaku!

Ya, aku memang kaya. Ibuku mewarisiku uang-uang itu, yang didapatkannya dari hasil menjual vaginanya yang selalu rapet layaknya gadis itu kepada lelaki-lelaki tua bangka yang sudah bau tanah. Sampai akhirnya ibuku mati, di atas ranjang setelah melayani seorang jendral yang menyetubuhinya dengan penis sebesar senapan. Ya, ibuku sekarang sudah mampus. Bangkainya teronggok di ujung kamar tempatku berada. Ya, aku senang ia di sana. Aku suka sekali dengan bau bangkai ibuku, yang selalu harum seperti bau keringat para gadis-gadis desa itu.

Hmmm, aku baru ingat. Kadang-kadang memang ada pula gadis-gadis desa yang bertubuh sintal datang padaku. Ada-ada saja yang mereka bicarakan. Ada yang bercerita tentang pemuda kota yang tubuhnya penuh tato yang setiap hari bercinta dengan dirinya. Tapi saat rahim gadis itu telah berisi, sang pemuda kabur. Ah, cerita lama. Tapi aku paling senang hal ini. Karena pasti sebelum si gadis pergi, tanganku akan merogoh masuk ke dalam rahimnya untuk menarik keluar seonggok daging yang sudah mulai berbentuk orok. Ya ya, bisa kau tebak. Makan malam istimewaku.

Ah sudahlah, aku sudah lelah. Baru saja aku menyantap lidah seorang penggunjing yang selalu mengata-ngatai orang lain, yang kerap memfitnah orang-orang yang tak disukainya. Aku tak suka rasanya. Sedikit pahit, karena memang lidah itu sudah busuk dan banyak berjamur.

Sekarang diamlah, aku mau tidur.

32 replies on “The Sleeper”

tuanku, maafkan hamba…
jangan masukkan nama hamba ke dalam laptop hitam dengan huruf berwarna merah 😥
ah tuanku jangan bangun!
jangannnnn!
_________________________
keren bro 😀 benar-benar suram

Like

stelah di baca dengan seksama, tulisanya keren, bagian yang ini:

Tapi mereka tak pernah puas. Mereka selalu saja merasa miskin. Dan yang tak kusukai, mereka selalu datang padaku, menjilati jempol kakiku hanya untuk meminta pada diriku supaya mereka tambah kaya. Bah! Bodoh sekali mereka. Sudah kubilang berkali-kali, jika kau mau kaya, jangan minta padaku, minta saja pada Tuhanmu Yang Maha Kaya itu. Jilati saja jempol kaki-Nya sampai lidahmu kering. Tapi mereka tak mau mendengar. Mereka takut, katanya. Takut pada Tuhan Berwajah Galak yang akan melempari mereka dengan batu panas neraka saat mereka berhenti menjilat sebelum Dia merasa puas. Ah, sial. Andai saja aku punya neraka sendiri, pasti mereka juga akan kulempar ke sana. Dan biasanya lelaki-lelaki dungu itu menyelipkan segepok amplop saat menyalamiku sebelum mereka pulang.

Like

GUCCI is among the most wanted brands of all time. If you have a keen eye for fashion, GUCCI is a must for your wardrobe. It’s 38943jid said that people need to have at least one GUCCI product from the wide collection of fashion goods, especially for a trendy girl like you!

Like

Leave a comment