Demi Kebaikan yang Lebih Besar(?)

Sabtu malam kemaren, sekitar jam 8, di saya tengah berada di dalam angkot menuju bascamp angkatan saya. Kala itu angkotnya tengah ada di jalan Dewi Sartika di daerah Cawang. Angkot berjalan pelan-pelan. Maklum, daerah di sini rawan macet, apalagi pas malem minggu seperti ini. Saya masih saja enjoy mendengarkan MP3 di henpon saya. Tapi angkot justru berjalan semakin lambat, dan puncaknya tiba-tiba ia berhenti, begitu juga kendaraan-kendaraan lain. Semua berhenti. Klakson-klakson membahana di mana-mana. Ah, sial, batin saya, ada apa sih ini? Sopir angkot saya lantas keluar mobil untuk melihat keadaan. Saya melihat keluar, wow, bahkan ruas jalan yang berlawanan arah pun sudah dipenuhi kendaraan-kendaraan yang searah dengan angkot saya. Benar-benar parah. Di luar saya juga melihat beberapa pemuda yang menegnakan kopyah, sarun serta jaket yang bertuliskan nama salah satu majelis pengajian. Saya juga baru sadar kalau di samping jalan banyak sekali bendera dan umbul-umbul organisasi tersebut.

Saat sopir kembali masuk, kami mulai merayap sedikit-sedikit. “Jalannya ditutup”, kata si sopir. “Ada pengajian”. Saya kaget. Dan benar saja, setelah agak lama angkot itu merayap, saya mendengar sayup-sayup suara shalawat di kejauhan. Dan juga saya melihat semakin banyak pemuda-pemuda seperti yang saya lihat tadi.

Akhirnya angkot pun berbelok ke jalan alternatif, yang juga macet.
—

Minggu pagi, saya dan teman saya si arthur van testbug berangkat menuju ke Roxy untuk benerin henpon saya. Kami naik bus kota Metro Mini yang legendaris itu. Memasuki kawasan Bendungan Hilir, lagi-lagi laju kendaraan kembali menurun. Nyaris merayap. Ya, karena jalur cepat di sepanjang Jalan Sudirman, yang biasanya dipakai mobil-mobil pribadi itu, sekarang ditutup. Jadinya sekarang jalur lambatnya jadi benar-benar lambat, karena penuh dengan kendaraan.

Kenapa pula jalur cepatnya ditutup? Untuk menyelamatkan lingkungan katanya, semacam hari tanpa kendaraan bermotor gitulah, biar polusi berkurang
—

Ah, saya jadi bingung dengan mereka-mereka yang ngadain acara-acara itu. Kenapa pengajian harus sampe menutup jalan? Bukannya Istiqlal itu masjid terbesar di Asia Tenggara? Apakah dengan cara yang demikian, yang membuat orang lain yang terjebak macet menjadi marah dan misuh-misuh, akan membuat amal ibadah Anda diterima Tuhan?
Bagaimana kalau di jalan itu ada ambulans yang mengangkut orang yang sekarat? Atau wanita yang mau melahirkan?

Apakah itu cara agar membuat (atau memaksa) orang lain untuk ikut acara itu? Karena toh, percuma mereka nggak ikut dan keluar jalan-jalan, karena jalanan juga pasti macet.
Yah, asal jangan kaget saja kalau kejadian ini bisa masuk film Fitna 2

Begitu juga acara tutup jalan untuk mengurangi polusi itu? Bukannya kendaraan yang berjubel macet itu justru tambah membuat polusi semakin menjadi-jadi? Bukan hanya itu, emosi pun terkadang juga ikut naik. Apa itu juga salah satu cara untuk memaksa para pemilik kendaraan untuk tidak naik kendaraan bermotor mereka? Karena jika mereka tetap memaksa naik, maka mereka akan terjebak macet seperti itu?

Apakah untuk kebaikan yang lebih besar (orang-orang jadi ikut pengajian serta udara jadi lebih bersih) kita harus saling menaikkan emosi serta memperburuk keadaan dulu? Apakah memaksa mereka menuju “kebaikan yang lebih besar” itu akan membuat mereka benar-benar memahami apa arti kebaikan itu sendiri?

Saya kira masih banyak cara yang lain yang lebih positif untuk mempromosikan “kebaikan yang lebih besar” itu. Entah apa itu, saya ndak tahu, karena saya bukan pakarâ„¢-nya, saya cuma bloger yang bisanya mengkritik langkah-langkah jenius untuk mendapat “kebaikan yang lebih besar”.

Ah, sudahlah, setidaknya metro mini dan angkot-angkot itu ndak bisa ugal-ugalan lagi..